Menteri Periwisata Arif Yahya meminta para pengusaha pusat belanja (mal) di dalam negeri untuk mulai berimprovisasi agar tidak kalah saing dengan bisnis jual-beli online (e-commerce). Menurut dia, dengan perkembangan teknologi ke depannya, bukan tidak mungkin masyarakat akan beralih dari belanja di mal ke belanja secara online.

"Harus mulai introduksi, karena lifestyle memang sudah berubah. Dulu Telkom yang buat wartel, sekarang tidak ada wartel. Kalau kita telepon kita tidak perlu datang ke suatu tempat. Anak muda sekarang kalau belanja tidak perlu datang, terutama untuk barang-barang yang sudah standar, yang sudah komoditi," ujarnya di Jakarta, Selasa (19/1/2016).

Arif mengungkapkan, meski saat ini belum dirasakan dampaknya, namun keberadaan e-commerce yang terus tumbuh diyakini akan mempengaruhi bisnis pusat belanja ke depan.

"Akan ajaib jika ada sesuatu yang lebih bagus, lebih murah, diantar ke rumah, tapi itu tidak dimanfaatkan. Siapa yang tidak menikmati itu hidupnya akan susah. Belum lagi kalau investor asing yang masuk akan sulit bersaing nanti," kata dia.

Menanggapi hal ini, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Handaka Santosa mengatakan, pihaknya telah menyadari potensi dampak dari perkembangan e-commerce terhadap bisnis mal.

Oleh sebab itu, pihaknya telah berupaya untuk mengembangkan mal bukan hanya sebagai tempat belanja, tetapi juga sebagai tempat masyarakat mencari hiburan.

"Makanya itu kita usahakan kalau masyarakat ke mal itu jangan hanya belanja. Misalnya kita baru buka Sogo di daerah Puri, itu ada suatu ruangan, ada ranjang barbie, jadi anak-anak bisa bermain di situ. Selama ini belum marak. Atau bukan hanya nail tapi bikin spa dan lain-lain, kita adakan perubahan besar di pusat belanja. Jadi kenyamanan entertaiment harus kita ciptakan," jelasnya.

Meski demikian, Handaka memastikan saat ini perkembangan e-commerce belum memberikan dampak yang signifikan bagi mal. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kebiasaan orang Indonesia yang masih suka berbelanja jika sudah melihat barang secara langsung.

"Saat ini belum terasa karena e-commerce di Indonesia masih di bawah 1 persen. Tapi ke depannya kita harus jaga-jaga karena ada tendensi orang semakin banyak pakai e-commerce. Tapi saat ini orang Indonesia lebih sudah melihat secara real, misalnya beli baju bukan hanya lihat warna tapi lihat tebalnya. Itu yang kami lihat masih jadi nilai positif," tandasnya.
Semakin membaiknya infrastruktur internet yang terus disiapkan pemerintah, tentu sangat mempengaruhi pola masyarakat dalam menggunakan internet. Salah satunya adalah perilaku masyarakat terutama di kelompok menengah ke atas yang mulai menggandrungi berbelanja secara online.

Dari sekian banyak situs jual-beli online yang menyesaki pasar Indonesia, Andri Riswandi, Head of Consultant Indepth Research Consulting mencatat hanya beberapa yang terbilang terbaik.

Setidaknya, jika hal tersebut didasarkan pada hasil peringkat situs Alexa teranyar pada 16 Oktober 2015, sebuah situs yang menyajikan peringkat dari sebuah website atau blog.

Andri menyebut lima situs e-commerce terbaik di Indonesia yang paling sering dikunjungi konsumen, yaitu Bukalapak.com, Lazada, Tokopedia.com, OLX dan Elevenia. Di sisi lain, kelima situs ini juga merepresentasikan model e-commerce yang berkembang di Indonesia.

Yang fenomenal tentu saja Bukalapak dan Tokopedia dimana keduanya bisa dibandingkan secara head to head karena memiliki model bisnis yang serupa, yakni sama-sama marketplace yang mengusung konsep C2C. Secara peringkat situs e-commerce di Indonesia juga tak terpaut jauh. Bukalapak ada di posisi 13 dan Tokopedia di 15, ujarnya.

Hadirnya Bukalapak dan Tokopedia yang fenomenal ini juga membangkitkan rasa kebanggaan terhadap e-commerce asli Indonesia, yang dinilai akan mampu bersaing dengan situs-situs jual beli online global, seperti Alibaba, ebay maupun Amazon.

Baik Bukalapak maupun Tokopedia, terbukti mampu merebut hati para konsumen Indonesia di tengah gempuran situs jual beli online global. Kekuatan mereka terletak pada kemampuan memahami dan mengerti karakter dan sifat konsumen Indonesia, baik yang menjual maupun yang membeli, ujarnya.

Meski demikian, Andri menaruh perhatian lebih kepada Bukalapak karena visinya yang lebih membumi dan menyasar para UKM, mengajak semua orang untuk memulai berbisnis secara mandiri atau menjadi enterpreneuer.

Tak heran jika situs ini sebagai situs e-commerce yang paling sering dikunjungi konsumen dan merupakan salah satu situs online marketplace terbesar di Indonesia. Pertumbuhan situs ini sebagai e-commerce terbilang sangat pesat.

Pernyataan Andri tak berlebihan mengingat website Bukalapak.com yang diluncurkan pada awal Januari 2010, langsung mendapat respons masyarakat yang luar biasa. Bukalapak.com memang berfokus memfasilitasi UKM untuk bisa membuka toko online dengan sistem pembayaran dan transaksi yang aman, baik bagi penjual maupun pembeli.

Menurut catatan yang ada, saat ini Bukalapak.com telah berhasil mengumpulkan lebih dari 500 ribu penjual (seller) dengan jumlah pengunjung mencapai 2 juta orang setiap hari dan menjadi situs jual beli no 1 di Indonesia dari segi traffic berdasarkan situs Alexa.

Sementara data yang dirilis biro riset Frost & Sullivan pada tahun 2013, Indonesia bersama China, menjadi negara dengan pertumbuhan pasar e-commerce terbesar di dunia dengan rata-rata pertumbuhan 17 persen setiap tahun.

Hasanuddin Ali, CEO Alvara Research Center, menuturkan bahwa dengan semakin meningkatnya potensi ekosistem jual-beli online yang kian diminati konsumen, tentu tak heran jika kegiatan berbelanja online kini telah menjadi gaya hidup yang digandrungi oleh banyak orang.

Tren ini akan terus berlanjut dan masif, setidaknya karena tiga alasan, mulai dari penetrasi internet yang semakin tinggi di Indonesia dimana lebih dari 80 juta penduduk sudah terhubung internet. Kemudian gaya hidup konsumen Indonesia yang sangat konsumtif, mendorong konsumen Indonesia terus belanja. Lalu agresifitas pemain situs belanja online yang menawarkan diskon dan kemudahan belanja juga akan semakin memperbesar pasar belanja online, tuturnya.

Dia menegaskan, kondisi ini pula yang memicu munculnya berbagai toko online baru yang membuat semakin kompetitif industri pasar online di Indonesia. Kepercayaan menjadi kata kunci. Berbeda dengan belanja konvensional, unsur trust itu menjadi sangat penting di belanja online, karena konsumen rela bayar dulu baru barang diantar, ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Andri, bahwa hanya situs e-commerce yang mampu beradaptasi dengan keinginan customer yang akan mampu bertahan dan akan semakin dikunjungi pelanggan.

Karena itu, kata Andri, pemain situs belanja online tetap perlu mengedepankan indikator-indikator marketing konvensional, seperti brand equity, brand image, customer satisfaction and loyalty, dan lainnya.

Meski demikian, kata Hasan, yang perlu diperkuat adalah terkait infrastruktur (IT dan Logistik) dan supply chain barang serta ekosistem bisnis mereka juga harus diperluas. Masalah lainnya terkait dengan payment system, terutama soal persepsi keamanan transaksi menggunakan kartu kredit. Kemudian masalah delivery atau logistik yang masih kurang bagus di Indonesia. terakhir, terkait masalah regulasi transaksi online.

Pemerintah mesti menyiapkan UU yang mumpuni selain UU ITE yang ada saat ini sehingga ada kepastian hukum bagi para pemain e-commerce yang membuat mereka nyaman dan mampu mengembangkan bisnisnya dengan baik, pungkas Hasanuddin.
Powered by Blogger.